PANDANGAN KRISTEN TERHADAP FILSAFAT MODERN TENTANG MANUSIA
BAB
I
PENDAHULUAN
Manusia
merupakan mahluk yang membutuhkan logika. Hal ini dikarenakan manusia memiliki
permasalahan yang kompleks dalam rentan hidupnya. Manusia selalu berpikir dan mancari tahu kebenaran
akan dirinya. Dua hal yang dipermasalahkan manusia adalah keberadaannya sebagai
manusia dan permasalahan yang di permasalahkan manusia itu sendiri.
Permasalahan pokok yang menjadi persoalan bagi manusia adalah seluruh realitas
tentang kebenaran segala sesuatu, baik yang berada dalam dirinya maupun yang
berada di luar dirinya.
Dapat
dikatakan bahwa filsafat muncul ketika manusia mulai berpikir tentang dirinya
dan berusaha menemukan jawabannya. Karena keterbatasan pengetahuan manusia maka
manusia mulai menyadari bahwa ada kekuatan di luar dirinya. Dari sinilah
manusia mulai berfilsafat. Filsafat tidak hanya membahas manusia dari berbagai
perspektif ilmu, tetapi juga membicarakan persoalan manusia secara menyeluruh
yang berada di luar jangkauan dan yang tidak terjangkau oleh ilmu-ilmu khusus.
Munculnya
filsafat modern menambah daftar panjang pengetahuan akan kefilsafatan manusia.
Pertanyaan tentang Allah, manusia dan
alam merupakan persoalan-persoalan pokok yang sering dikemukakan manusia.
Pertanyaan tentang manusia ini timbul dari perspektif zaman yang berbeda dan
menghasilkan pemahaman yang berbeda dan luas tentang manusia.
Pandangan-pandangan tentang manusiapun bermunculan, yang kemudian tidak jarang
pernyataan pandangan satu dengan yang lain saling tumpang tindih. Untuk dapat
memahami konsep manusia yang benar, maka sebagai teolog dan orang percaya,
segala sesuatu harus bersumber pada kebenaran yang utama yaitu Alkitab. Oleh
sebab itu, dalam paper ini Penulis akan memaparkan “Pandangan Kristen Terhadap
Filsafat Modern Tentang Manusia”.
BAB
II
PANDANGAN
KRISTEN TERHADAP FILSAFAT MODERN TENTANG
MANUSIA
A.
Lahirnya
Filsafat Modern
Filsafat modern merupakan
rentetan historis dari tradisi Filsafat Barat yang muncul abad XV sampai dengan
abad XVIII. Filsafat modern terbagi dalam tiga zaman, yaitu zaman Renaissance,
Zaman Pencerahan, dan Zaman Romantik. Aliran yang terdapat di dalamnya adalah
Rasionalisme, Empirisme dan Idealisme.
Dalam filsafat modern, yang
menjadi titik pusat filsafat adalah manusia. Manusia menjadi pusat perhatian,
pemikiran, pusat sejarah, dan pusat kosmos.
1.
Zaman
Renaissance (abad XV-XVI)
Kata “Renaissance” berasal
dari bahasa Perancis yang berarti “Kelahiran Kembali”, sehingga zaman ini
diartikan juga sebagai zaman kelahiran minat untuk mempelajari kebudayaan
Yunani kuno. Pada zaman ini orang mengembangkan cita-cita, dan membangkitkan
sikap modern yaitu sekularisme, optimisme, individualisme, dan humanisme. Jadi
dapat dikatakan bahwa kebudayaan Renaissance menempatkan manusia sebagai pusat
perhatian, dimana manusia mulai mengembangkan pikirannya secara bebas untuk
kelangsungan hidupnya.
2.
Zaman Barok
(abad XVII)
Zaman Barok disebut juga
sebagai “Zaman Keagungan”. Pada zaman ini telah dimulai babak baru pandangan
manusia tentang keagungan dirinya. Pada zaman ini penyelidikan subjektivitas
manusia berkisar pada soal “rasio” (akal budi) sehingga lahirlah Filsafat
Rasionalisme.
3.
Zaman Pencerahan
(abad XVIII)
Pada zaman ini, para
cendekiawan menganggap bahwa apa yang diamati oleh panca indra manusia dan apa
saja yang dapat disadari serta diketahui akal budi , itu sajalah yang harus
dipercayai. Dengan demikian manusia tidak mau terikat dengan apa yang di luar
dirinya, dan akal budi menjadi “bebas”. Semua filsuf mereka disebut “Filsuf
Empiris” dan filsafat mereka disebut Empirisme, sebab mereka menitik beratkan
unsur “pengalaman”, bukan akal budi sebagai sumber untuk memahami kenyataan.
4.
Zaman Romantik
(abad XVIII)
Zaman ini muncul sebagai
reaksi terhadap Rasionalisme dan Empirisme. Filsafatnya disebut dengan Filsafat
Idealisme. Pada waktu itu muncul suatu paham filsafat yang mengutamakan
nilai-nilai perasaan dan intuisi lebih dari pada akal budi.
B.
Manusia
Menurut Pandangan Filsafat Modern
Setiap sistem filsafat
memiliki pandangan mengenai manusia dalam hubungannya dengan Allah, alam, dunia
dan sesame manusia. Pembahasan filsafat dalam Filsafat Modern mengarah pada
perkembangannya yang membahas meliputi masalah penciptaan (asal mula) manusia,
struktur permanen (tubuh,jiwa dan roh) manusia, dan akhir hidup manusia setelah
kematian.
1.
Rasionalisme
Istilah “rasionalisme”
berasal dari bahasa Latin “ratio” yang berarti pikiran atau pemikiran.
Rasionalisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa akal (pikiran) adalah
tolok ukur kebenaran atau perkara tertinggi. Dengan akal itulah manusia
dianggap mampu menyelidiki, memahami, dan menilai segala sesuatu.
a.
Rene Descartes (1596-1650)
Filsuf ini dijuluki sebagai
“Bapak Filsafat Modern”, sebab dialah yang meletakkan dasar paham ini. Motonya
adalah “Cogito ergo sum” (saya berpikir, jadi saya ada). Jadi Descartes
menekankan dinamika berpikir untuk dapat memahami eksistensi manusia.
Filsafatnya bertitik tolak dari perbedaan asasi antara jiwa dan materi,
sekalipun keduanya diciptakan oleh Allah. Di dalam manusia keduanya merupakan
kesatuan tetapi bersifat “dualisme” dan saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya. Hakikat manusia terdapat dalam jiwanya, dan jiwa mempengaruhi tubuh
untuk tindakan tertentu. Akhir kehidupan manusia ditandai dengan terpisahnya
jiwa dengan tubuh, yaitu pada saat kematian.
b.
Baruch Spinoza
(1632-1677)
Spinoza mempercayai hanya
ada satu substansi (cara berada yang tidak tergantung pada apapun juga), yaitu
Allah atau “Yang Tak Berhingga”. Segala sesuatu yang terbatas (dunia dan
isinya) merupakan cara perwujudan Allah.
Hubungan antara Allah dan alam merupakan satu kesatuan. Menurut Spinoza manusia adalah suatu cara
berada (modus) Allah. Tubuh dan jiwa bukan dua kenyataan berbeda, melainkan dua
aspek dari satu kenyataan yang fundamental. Jadi tubuh dan jiwa manusia adalah
modus Allah dan pada hakikatnya kedua cara berada Allah itu adalah satu, sama
dan sejajar. Kemungkinan hidup terakhir manusia adalah kebebasan roh, yaitu
kuasa roh yang terdiri dari “pemikiran” saja. Kebebasan itu diawali dengan
pemikiran yang membebaskan diri dari perasaan-perasaan, hawa nafsu, dan segala
yang irrasional.
c.
Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646-1716)
Leibniz berpendapat bahwa
pada mulanya Allah menciptakan dunia; semua monade (substansi) telah diatur
sedemikian rupa sehingga terdapat keselarasan antara aktivitas suatu substansi
dengan substansi yang lain. Allah adalah “monade tertinggi” yang bebas dari
seluruh monade yang keluar dari Dia. Manusia terdiri dari monade-monade yang
harmonis, walaupun tidak saling mempengaruhi. Setiap monade (tubuh dan jiwa)
manusia memiliki aktivitasnya sendiri-sendiri yaitu tujuan, keinginan, dan
kehendak yang telah diharmonisasikan dengan baik. Akhirnya manusia sebagai
bagian dari rentetan monade akan menuju kepada “monade tertinggi” yakni Allah
yang transenden.
2.
Empirisme
Empirisme adalah filsafat
yang menekankan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Empirisme
sangat menekankan “pengalaman indrawi” sebagai sumber pemahaman atas segala
sesuatu.
a.
John Locke
(1631-1704)
Locke tidak membedakan
pengetahuan yang berdasarkan akal dan pengetahuan yang berdasarkan penangkapan
indrawi sebab keduanya diyakini berasal dari “pengalaman”. Persoalan manusia
hanya berkisar pada “cara dan proses pengamatan” dalam usaha memahami segala
kenyataan. Keberadaan manusia dapat dipahami sejauh apa yang diperoleh dari
pengalaman indrawi tersebut dimana jiwa manusia uga berfungsi aktif dalam
membentuk pengertian mengenai diri manusia itu sendiri.
b.
George Berkeley
(1685-1753)
Filsafat Berkeley disebut
juga “Spiritualisme” (serba roh) dan “Immaterialisme” (menyangkal adanya dunia
materi di luar kesadaran manusia). Jadi antara tubuh dan jiwa yang membedakan
adalah “kesadaran”. Hal ini merupakan kelanjutan dari prinsip Locked yang
mengatakan bahwa semua pengetahuan berdasarkan pengalaman. Berkeley menambahkan
bahwa pengalaman disebabkan oleh adanya kesadaran dan bukan dari sesuatu yang
di luar manusia. Alam dianggap simbolik dan menjadi nyata hanya dalam pikiran
atau roh manusia.
c.
Jean Jacques
Rousseau (1712-1778)
Rousseau berpendapat bahwa
ilmu pengetahuan merusak manusia yang pada awalnya memiliki kodrat asali baik.
Kebebasan dan perasaan moral manusia bisa berubah karena adanya ancaman dari
kebudayaan dan ilmu pengetahuan dari suatu masyarakat tertentu. Motonya adalah Back to Nature (kembali kepada keadaan
semula). Manusia mempunyai kebebasan moral yang dijiwai oleh substansi yang
tidak jasmani (Allah). Kemungkinan akhir hidup manusia adalah suatu kehidupan
baka secara pribadi.
d.
Immanuel Kant
(1724-1804)
Menurut Kant, manusia
berasal dari dunia binatang yang berkembang terus dari taraf primitive menuju
kesadaran “persatuan” antar manusia sehingga tujuan akhir manusia adalah
penyempurnaan moral di dalam hidup kekekalan secara personal dan bukan komunal.
Semasa hidupnya manusia harus berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi
dengan bantuan Allah. Dengan demikian Kant sangat mengutamakan
tindakan-tindakan manusia untuk mencapai keselamatan (penyempurnaan moral).
3.
Idealisme
Idealisme adalah aliran
filsafat yang membedakan “idea” (dunia roh) sebagai objek pengertian dan sumber
pengetahuan. Idea itu terpisah dari kenyataan dan merupakan sumber dari segala
sesuatu. Idealisme juga berpandangan bahwa segala sesuatu yang dilakukan
manusia tidaklah selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah tetapi
harus berprinsip kerohanian (Idea). Oleh sebab itu Idealisme sangat
mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai sumber pengetahuan.
a.
Johan Gottlieb
Fichte (1762-1814)
Fichte berpendapat bahwa
objek-objek diberi “bentuk” oleh akal manusia. Manusia sebagai subjek adalah
“pencipta” benda-benda. Permulaan segala sesuatu (alam dan seluruh ciptaan)
merupakan suatu perbuatan dari manusia sebagai subjek. Manusia adalah “aku”
yang otonom, yang dianggap sebagai satu-satunya realitas yang ada. Tubuh dan
jiwa serta roh merupakan kesatuan kesadaran manusia yang akan mendorong manusia
itu sendiri “menjadi” manusia. Idealisme Fichte adalah Idealisme-subjektif yang
menekankan kesadaran dari manusia sebagai subjek.
b.
Friedrich Wilhelm
Schelling (1775-1854)
Menurut Schelling baik
manusia maupun alam merupakan suatu “subjek”. Walaupun demikian, manusia dan
alam diciptakan Allah dengan suatu kebebasan kehendak. Jiwa dapat kembali
kepada Yang Maha Mutlak (Allah), hanya dengan kemungkinan yaitu dengan cara
membuang keterbatasannya.
c.
George Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831)
Menurut Hegel segala relitas
adalah perwujudan dari Roh Yang Mutlak (Allah), tetapi bukan Allah yang
personal, bukan yang transenden, melainkan Allah yang imanen (Panteistik). Jadi
Roh Yang Mutlak itu yang menyatakan diri dalam perkembangan alam semesta.
Pernyataan Roh itu mencakup tiga bidang, yaitu seni (keselarasan pengamatan),
agama (keselarasan batiniah), dan filsafat (keselarasan pengertian). Hegel
menyatakan bahwa pengenalan terhadap Roh itu hanya berdasarkan filsafat, yaitu
berdasar pada pengertian-pengertian atau pikiran-pikiran murni. Manusia tidak
dikenal sebagai pribadi tetapi kolektif. Kehidupan manusia merupakan perwujudan
Roh, dimana tubuh selalu dikaitkan dan diartikan berdasarkan Roh itu sendiri.
C.
Manusia
Menurut Pandangan Kristen
Teologi Kristen adalah
pengetahuan yang sistematis tentang Allah dan hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya.
Teologi Kristen berhubungan dengan usaha-usaha mengerti Alkitab serta penerapannya
ke dalam setiap bagian kehidupan dan pemikiran. Pandangan Teologi Kristen
tentang manusia selalu berkaitan dalam relasinya dengan Allah.
1.
Penciptaan
Manusia
Manusia diciptakan menurut
“gambar dan rupa” Allah. Manusia bukan hasil prokreasi Allah dan bukan juga
emanasi Allah, tetapi manusia diciptakan Allah berdasarkan atas pertimbangan
kebijaksanaan dan keputusan kehendak-Nya yang bebas (Kej 1:26). Pada mulanya
manusia itu sempurna (Ul. 32:4). Dari sini jelas ditunjukkan bahwa yang menjadi
sumber kehidupan manusia adalah Allah. Allah memberikan kuasa kepada manusia
atas segala mahluk lainnya (Kej. 1:28; Maz 8:7-9). Manusia dengan seluruh
aspeknya (tubuh, jiwa dan roh) harus selalu mengarahkan tujuan hidupnya bukan
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk memuliakan Allah saja.
a.
Manusia sebagai
Kreasi Allah
Penciptaan manusia dalam
Alkitab memakai kata Ibrani “asah” (artinya: menjadikan, Kej 1:26) dan “yatsar”
(artinya: membentuk, Kej. 2:7). Kedua kata itu tidak bertentangan dengan kata
Ibrani “bara” (artimya: menciptakan, Kej.1:1). Semua kata tersebut sebenarnya
menjelaskan bahwa manusia diciptakan secara “langsung” oleh Allah, sebagai
hasil gagasan dan kreasi Allah yang unik. Sebagai kreasi Allah, manusia
mempunyai hubungan yang khusus dengan Allah yaitu manusia diciptakan dalam
suatu relasi dengan-Nya dan untuk mencerminkan sifat-sifat Allah.
b.
Manusia sebagai
“Imago Dei”
Ungkapan Imago Dei mempunyai arti adanya
kesamaan-kesamaan antara Allah dengan manusia. Kesamaan tersebut adalah
kesamaan mental (intelektual), kesamaan moral (kekudusan dan kebenaran), dan
kesamaan sosial (persekutuan dan persahabatan). Mengenai kesamaan mental,
manusia diberi intelektual oleh Allah (liht. Kej 1:28). Mengenai kesamaan
moral, manusia pada waktu diciptakan telah memiliki sifat kekudusan dan
kebenaran Allah (Ef.4:24). Sedangkan kesamaan sosial, karena Allah mempunyai
sifat sosial (hubungan Allah Tritunggal) demikian juga manusia memiliki sifat
tersebut. Salah satu cirri dari Imago
Dei dalam diri manusia adalah
kemampuan membuat pilihan secara moral. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa,
manusia telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm.3:23), sebab dosa sifatnya
merusak. Pemulihan Imago Dei hanya dapat terjadi ketika seseorang menerima
Kristus dalam kehidupannya (Kis 3:21; Ef 2:4-5).
c.
Tubuh, Jiwa, dan
Roh Manusia
Manusia memiliki unsure
badani dan non-badani, yaitu tubuh dan jiwa atau roh. Ada dua macam skema
struktur manusia yaitu dikotomi dan trikotomi. Dalam alkitab jiwa dan roh
seringkali disebut secara bergantian (1 kor 5:5; Mat 10:28 dll). Bagian badani
berhubungan dengan dunia empiris, batin berhubungan dengan dunia dalam manusia
dan roh berhubungan dengan Allah. Demikian bagian badani dan non badani tetap
merupakan satu kesatuan. Tubuh dalam bahasa Ibrani “basar” sudah menunjuk manusia
secara keseluruhan (Maz. 44:26b; Luk 12:22).
2.
Keadaan Manusia
Setelah Jatuh ke dalam Dosa
Manusia diciptakan Allah
disertai dengan kebebasan kehendak, yaitu kebebasan untuk memilih. Kepada
manusia juga diberikan kebebasan untuk bertindak menurut kehendaknya sendiri
atau kehendak Allah (Kej 2:16-17). Jatuhnya manusia ke dalam dosa mengakibatkan
terpisahnya hubungan manusia dengan Allah.
a.
Terpisahnya
Hubungan dengan Manusia
Fakta kejatuhan manusia
dalam dosa merupakan fakta historis dalam sejarah kehidupan manusia. Dosa telah
memisahkan hubungan antara manusia dengan Allah. Sejak Adam dan Hawa jatuh ke
dalam dosa, maka seluruh umat manusia berdosa dan kehilangan hubungannya dengan
Allah. Oleh sebab itu manusia tidak dapat memahami Allah secara benar (1 kor 2:14),
bahkan manusia tidak memahami keberadaannya dengan sepenuhnya (1 kor 2:11; yer
17:9). Keterpisahan dari Allah
mengakibatkan manusia berdosa pasti gagal dalam tanggung jawab moral (Rm 8:6-8)
dan makin terbatas kemampuannya untuk memilih jalan yang benar.
b.
Manusia
Mengalami Kematian
Pada waktu diciptakan
manusia tidak dapat mati (immortal). Tetapi karena dosa maka manusia mengalami
kematian (Kej 2:17; Rm 5:15-21). Menurut Alkitab ada tiga jenis kematian yaitu
kematian jamani, kematian rohani dan kematian kekal. Manusia yang telah jatuh
ke dalam dosa mengalami kematian rohani. Setiap orang yang percaya kepada
Kristus tidak binasa melainkan beroleh hidup kekal dan orang tidak percaya
dilemparkan dalam kematian kekal (Mat 13:42; Why 20:15).
3.
Keadaan Manusia
Setelah Dipulihkan Kristus
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, setiap aspek kehidupannya berbeda
jauh dari kehendak Allah. Allah mempunyai rencana untuk memulihkan manusia
kembali kepada rencana-Nya semula, yaitu dengan cara mengutus Anak-Nya yang
Tunggal sebagai Juru selamat bagi manusia (Rm 5:8; 10:1; Yoh 4:10).
a.
Hubungan yang
Baru
Pembenaran adalah tindakan Allah dalam mengampuni dosa-dosa manusia,
yaitu melepaskan mereka dari hukuman dosa dan menerima mereka sebagai orang
benar (Rm 3:24-26). Dasar pembenaran adalah kebenaran Kristus (2 Kor 5:21).
Jadi dibenarkan berhubungan dengan perubahan dalam hubungan yaitu hubungan yang
baru antara orang percaya di dalam Kristus dengan Allah (Rm 5:8-11).
Pembaharuan dan pemulihan yang dilakukan oleh Kristus telah menjembatani jurang
pemisah antara manusia dengan Allah. Itulah karya Allah bagi manusia supaya
semua orang diperdamaikan dan hidup dalam hubungan yang intim dengan-Nya.
b.
Hidup yang Baru
Pembenaran mengubah “status”
seseorang dihadapan Allah, pengudusan mengubah dan memperbaharui “keadaan”
seseorang (1 Kor 1:30). Dengan demikian kualitas hidup seseorang yang telah
dikuduskkan Allah menunjukkan perbedaan, sebab orang yang menerima Kristus akan
memperoleh hidup Kristus (Yoh 14:16). Pertobatan dan kelahiran kembali
merupakan karya Allah melalui Roh Kudus (Yoh 1:13; 3:5-6; Kis 11:18; 2 Tes
2:13). Hidup baru mencakup pertobatan dan kelahiran baru bukanlah hasil usaha
manusia, melainkan berasal dari Allah. Hidup yang baru adalah hidup dalam iman,
kasih dan pengharapan (1 Kor 13:1-13).
D.
Pandangan
Teologi Kristen Tentang Manusia dalam Filsafat Modern
Filsafat modern bersifat antroposentris, sedangkan Teologi Kristen
bersifat teosentris. Keduanya amat bertentangan satu sama lain.
1. Tinjauan Kritis secara Umum
Perbedaan pandnagan dan penjelasan mengenai filsafat
manusia yang bersifat antroposentris, sebenarnya menunjukkan keterbatasan
filsafat manusia dalam usaha mencapai pengertian yang benar mengenai eksistensi
manusia itu sendiri.
a.
Pandangan
Teologi Kristen terhadap Dasar Pemikiran Antroposentrisme
Dalam filsafat modern segala kepastian tradisional menjadi kabur dan
akhirnya manusia menganggap bahwa kepastian masih dapat ditemukan, hanya di
dalam dirinya sendiri, yaitu melalui kekuatan akal budi dan pengalaman sebagai
individu.
(i) Penyangkalan terhadap Penyataan Allah (Alkitab)
mengenai Manusia
Antroposentrisme filsafat jelas telah menyangkal dan
mengabaikan pernyataan Allah (Alkitab) mengenai manusia dan lebih meyakini
kemampuan serta pemikiran manusia itu sendiri. Filsafat modern juga menganggap
manusia sebagai standar kebenaran atas segala sesuatu. Dengan demikian
menyangkal Allah sebagai standar kebenaran. Di pihak lain Alkitab menyatakan
bahwa dosa telah memisahkan manusia dari Allah (Yes 59:2) sehingga tidak ada
kebenaran di dalam manusia (Rm 3:4,10; 10:3). Selain itu kebenaran manusia
selalu ingin berjalan menurut kemauannya sendiri (Ams 16:2) karena dosa telah
menggelapkan akal businya (Ef 4:18). Oleh sebab itu manusia yang telah jatuh ke
dalam dosa tidak dapat dijadikan tolak ukur kebenaran.
Allah telah menyatakan bahwa Alkitab itu tepat dan
benar (Why 21:5), sebab itu pandangan mengenai manusia menurut Alkitab itu
tepat dan benar. Penyangkalan terhadap Alkitab sebagai firman Allah berarti
menolak segala sesuatu yang dinyatakan
Allah sendiri.
(ii) Penekanan pada Kebebasan dan Keagungan Manusia
Dengan antroposentrisme, berarti manusia ingin
membebaskan diri dari kuasa di luar dirinya, yang kemudian berkembang menjadi
anggapan bahwa manusia mampu berkuasa atas segala kenyataan. Filsafat modern
menekankan kebebasan yang mutlak terlepas dari segala sesuatu di luar dirinya.
Disinilah terletak kekeliruan subjektivitas manusia yang dapat berakibat fatal
bagi dirinya sendiri. Penekanan pada kebebasan dan keagungan manusia berarti
sama dengan menolak akan otoritas Allah atas diri manusia.
b.
Pandangan
Teologi Kristen tentang Bukti Keterbatasan Filsafat Manusia
Hasil dari pandangan para filsuf filsafat modern yang berbeda-beda dan
berubah-ubah, membuat pandangan filsafat menjadi subjektif. Berbeda dengan
Teologi Kristen yang selalu tetap dan tidak berubah-ubah.
(i) Subjektivitas Filsafat Manusia
Adanya perbedaan, perubahan, dan pertentangan
pemikiran dalam filsafat modern, khususnya mengenai manusia, maka dapat dilihat
bahwa kebenaran filsafat manusia adalah kebenaran yang relative, spekulative,
dan subjektive. Sebab kebenaran ditentukan dari anggapan dan persepsi pribadi.
Subjektivitas filsafat manusia adalah karena bersumber dari pemikiran dan
pengetahuan manusia belaka.
(ii) Ketidakpastian Filsafat Manusia
Filsafat sendiri tidak mampu memberikan pengertian
yang sepenuhnya benar tentang segala sesuatu bahkan selalu bertanya terus dalam
usahanya memahami kenyataan. Jadi jalaslah disini bahwa pemikiran manusia tidak
mencapai hasil yang pasti dan tetap. Oleh sebab itu dengan menyadari
keterbatasannya, seharusnya manusia
mengarahkan perhatiannnya pada penyataan Allah dalam Alkitab.
2. Tinjauan Kritis secara Khusus
a.
Pandangan
Teologi Kristen tentang Manusia menurut Rasionalisme
Dipandang dari perspektif Teologi Kristen, pandangan Rasionalisme
tentang manusia mengandung kekeliruan konsep yang mendasar.
(i)
Kekeliruan
Konsep tentang Otonomi Akal
Titik tolak Rasionalisme dalam memahami manusia selalu didasari atas
otonomi akal. Akal dipercayai sebagai kunci untuk membuka segala rahasia,
termasuk soal manusia. Akal tidak bersifat otonom, sebab akal hanya salah satu
titik awal yang mendasari keyakinan setiap ahli pikir. Sebaliknya, Teologi
Kristen menyatakan bahwa akal itu juga harus mengalami pertobatan apabila ingin
berfungsi sesuai dengan kehendak Allah (Rm 12:2), sebab pertobatan seseorang
mencakup seluruh aspek kehidupannya termasuk pikiran.
(ii)
Manusia Bukan
Subjek Segala Sesuatu
Manusia bukan “subjek” segala sesuatu sebab manusia hanyalah mahluk
ciptaan Allah. Akal yang dipilih Rasionalisme juga buatan Allah. Jadi
sebenarnya hanya Allah sajalah yang menjadi Subjek segala sesuatu karena Ia
adalah Allah segala mahluk (Yes 40:28; Yer 32:27).
(iii) Kontradiksi Rasionalisme dan Alkitab
Alkitab menerangkan bahwa manusia diciptakan istimewa dari mahluk
lainnya yaitu segambar dan serupa dengan Allah. Tubuh sering dipakai untuk
menunjukkan eksistensi manusia seutuhnya (Rm 8:8), jiwa juga menunjukkan
eksistensi manusia seluruhnya (Maz 78:8). Jadi manusia merupakan satu kesatuan
yang utuh. Manusia seutuhnya mencakup seluruh aspek keberadaannya dan tidak ada
pemisahan satu dengan yang lain.
Filsafat modern memiliki pandangan yang bertentangan dengan Alkitab.
Rasionalisme mempercayai bahwa manusia memiliki sifat dualistik yaitu tubuh dan
jiwa terpisah dan bukan merupakan satu kesatuan. Spinoza berpandangan panteistik, dimana tubuh manusia
merupakan hasil emanasi dari Allah.
b.
Pandangan
Teologi Kristen tentang Manusia menurut Empirisme
Menurut Teologi Kristen, pemahaman-pemahaman Empirisme mengenai manusia
perlu ditolak dalam beberapa hal penting.
(i)
Subjektivitas
Pengalaman Indrawi
Sumber segala pengetahuan bukanlah berdasarkan pengalaman indrawi yang
didukung rasio seperti yang diyakini Empirisme, tetapi Alkitab. Pandangan
Alkitab mengenai manusia bersifat objektif dan factual, sedangkan Empirisme
bersifat subjektif. Menurut Teologi Kristen, untuk memahami manusia secara
sepenuhnya, tidak cukup hanya berdasarkan pengalaman manusiawi belaka,
melainkan pengalaman itu sendiri bersama iman kepada Allah.
(ii)
Pemahaman
tentang Manusia yang Bercorak Naturalistik
Dalam Empirisme, pandangan tentang manusia amat bercorak naturalistik,
yaitu segala sesuatu hanya dapat diterangkan berdasarkan sebab-sebab alami
saja. Demikian pula soal manusia selalu harus dimengerti hanya melalui sarana
rasio dan pengamatan empirik belaka. Oleh sebab itu Empirisme selalu menekankan
manusia alami yang pada mulanya dianggap baik. Corak naturalistik dalam
Empirisme terbukti dengan adanya pendapat tentang tidak adanya perbedaan antara
materi dan jiwa.
(iii) Adanya Usaha Penyempurnaan Moral Manusia
Kehidupan abadi di alam baka, bagi Empirisme, hanya berbicara soal
penyempurnaan moral saja. Immoralitas jiwa tidak diterangkan secara jelas sebab
tidak ada pembedaan materi dan jiwa. Manusi mengusahakan dirinya untuk mencapai
kesempurnaan moral. Hal ini di tolak oleh Teologi Kristen karena penyempurnaan
moral hanya didapat di dalam Yesus (Kol 1:28; Ef 4:13). Manusia tidak dapat
mengusahakan penyempurnaan moralnya semata-mata.
c.
Pandangan
Teologi Kristen tentang Manusia menurut Idealisme
Pandangan Teologi Kristen tentunya berbeda dengan
pandangan Idealisme dalam membahas masalah tentang manusia. Beberapa hal yang
ditolak pandangan ini adalah:
(i)
Penekanan pada
Kesadaran Manusia sebagai Subjek
Idealisme juga menekankan manusia sebagai subjek, namun yang yang lebih
dianggap penting disini adalah kesadaran subjek. Dengan kesadaran tersebut
manusia dapat memahami segala sesuatu. Kesadaran ini adalah pemikiran yang
bersifat imanen. Karena adanya Allah
yang imanen panteistis, maka manusia menjadi subjek segala sesuatu. Hal ini
berarti bahwa Allah bekerja dan melekat di dalam kehidupan manusia. Allah yang
imanen berarti Allah berada di dalam struktur alam semesta dan ikut ambil
bagian dalam proses kehidupan manusia.
Pandngan ini di tolak oleh Teologi Kristen karena Subjek dari segala
sesuatu adalah Allah, yaitu Allah yang bukan saja imanen (Mz 104:29-30; Yes
63:11 dll) tetapi transenden (Mz 113:4-6;Yes 55:8-9 dll). Oleh sebab itu
pandangan tentang panteistis harus dibuang karena tidak sesuai dengan apa yang
diajarkan Alkittab.
(ii)
Manusia Bukan
Perwujudan Roh Allah
Kesatuan
tubuh, jiwa dan roh manusia selalu dipahami sebagai suatu kesadaran yang utuh
oleh Idealisme. Tetapi mengenai jiwa dan roh pada akhirnya akan kembali kepada
Roh Yang Mutlak (Allah). Dalam Alkitab diungkapkan bahwa manusia bukanlah
perwujudan Roh Allah. Sebab manusia adalah kreasi Allah. Allah adalah tetap
Allah pencipta dan manusia adalah tetap mahluk ciptaan-Nya.
BAB
III
KESIMPULAN
Aliran
Filsafat Modern yang diwakili Rasionalisme, Empirisme dan Idealisme mempunyai
pandangan yang berbeda-beda mengenai manusia. Tetapi secara umum dapat
dikatakan bahwa pandangan tentang manusia dalam Filsafat Modern itu bersifat
antroposentrisme. Hal ini bertentangan dengan pandangan Teologi Kristen yang
bersifat teosentris. Dasar pemikiran antroposentrisme dalam Filsafat Modern
amat bertentangan dengan penyataan Allah di dalam Alkitab. Segala perhatian
yang berpusat pada manusia berarti menolak Allah sebagai standar kebenaran. Ini
adalah salah satu bentuk pemberontakan terhadap Allah sebagai pencipta, dan
dapat mengakibatkan dehumanisasi manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya sistem pemikiran filosofis yang berbeda-beda, variatif, relatif, spekulatif dan subjektif.
Rasionalisme
menggambarkan manusia sebagai mahluk yang berakal dan dengan akalnya itulah
dianggap sebagai kunci segala sesuatu. Empirisme menekankan pengalaman manusia
yang ditopang oleh akalnya, sebagai sumber pengetahuan segala realitas.
Sedangkan Idealisme mendeskripsikan manusia sebagai mahluk dengan kesadaran
yang utuh, dimana kesadaran itulah yang membuat manusia memahami kenyataan.
Namun hal ini di tolak oleh pandangan Teologi Kristen karena tidak sesuai
dengan Alkitab. Teologi Kristen menunjukkan unsur-unsur dalam Filsafat Modern
yang relatif, spekulatif dan subjektif. Dengan demikian, dalam filsafat manusia
tidak ada kepastian kebenaran sehingga tidak akan mencapai kebenaran yang
sesungguhnya. Berbeda dengan Teologi Kristen bersumber pada Alkitab yang
bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.
Kesimpulan
dari keseluruhan adalah bahwa Teologi Kristen menolak semua pandangan tentang
manusia dalam Filsafat Modern, dengan sifat antroposentisme dan
keterbatasannya. Lebih dari itu, Teologi Kristen menunjukkan “jalan” dan
“sumber” yang benar, yaitu Alkitab yang adalah Firman Allah, sebagai pusat
perhatian dan pemahaman yang benar mengenai eksistensi manusia. Filsafat
manusia itu terbatas. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tidak dapat
dijadikan tolak ukur kebenaran. Kebenaran sesungguhnya mengenai manusia
bersumber pada penyataan Allah di dalam Alkitab. Dengan demikian pandangan
tentang manusia dalam filsafat Modern tidak memberikan suatu pemahaman yang
tepat dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F.Budi. Filsafat Modern : Dari Marchiavelli
sampai Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Griffin, David Ray. Tuhan dan Agama dalam Post Modern.
Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual :
Konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga zaman modern. Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Tuhan Para Filsuf dan
Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.