Selasa, 10 Januari 2012

filsafat


PANDANGAN KRISTEN TERHADAP FILSAFAT MODERN  TENTANG MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN

Manusia merupakan mahluk yang membutuhkan logika. Hal ini dikarenakan manusia memiliki permasalahan yang kompleks dalam rentan hidupnya. Manusia selalu berpikir dan mancari tahu kebenaran akan dirinya. Dua hal yang dipermasalahkan manusia adalah keberadaannya sebagai manusia dan permasalahan yang di permasalahkan manusia itu sendiri. Permasalahan pokok yang menjadi persoalan bagi manusia adalah seluruh realitas tentang kebenaran segala sesuatu, baik yang berada dalam dirinya maupun yang berada di luar dirinya.
Dapat dikatakan bahwa filsafat muncul ketika manusia mulai berpikir tentang dirinya dan berusaha menemukan jawabannya. Karena keterbatasan pengetahuan manusia maka manusia mulai menyadari bahwa ada kekuatan di luar dirinya. Dari sinilah manusia mulai berfilsafat. Filsafat tidak hanya membahas manusia dari berbagai perspektif ilmu, tetapi juga membicarakan persoalan manusia secara menyeluruh yang berada di luar jangkauan dan yang tidak terjangkau oleh ilmu-ilmu khusus.
Munculnya filsafat modern menambah daftar panjang pengetahuan akan kefilsafatan manusia. Pertanyaan tentang  Allah, manusia dan alam merupakan persoalan-persoalan pokok yang sering dikemukakan manusia. Pertanyaan tentang manusia ini timbul dari perspektif zaman yang berbeda dan menghasilkan pemahaman yang berbeda dan luas tentang manusia. Pandangan-pandangan tentang manusiapun bermunculan, yang kemudian tidak jarang pernyataan pandangan satu dengan yang lain saling tumpang tindih. Untuk dapat memahami konsep manusia yang benar, maka sebagai teolog dan orang percaya, segala sesuatu harus bersumber pada kebenaran yang utama yaitu Alkitab. Oleh sebab itu, dalam paper ini Penulis akan memaparkan “Pandangan Kristen Terhadap Filsafat Modern Tentang Manusia”.

BAB II
PANDANGAN KRISTEN TERHADAP FILSAFAT MODERN TENTANG MANUSIA


A.  Lahirnya Filsafat Modern
Filsafat modern merupakan rentetan historis dari tradisi Filsafat Barat yang muncul abad XV sampai dengan abad XVIII. Filsafat modern terbagi dalam tiga zaman, yaitu zaman Renaissance, Zaman Pencerahan, dan Zaman Romantik. Aliran yang terdapat di dalamnya adalah Rasionalisme, Empirisme dan Idealisme.
Dalam filsafat modern, yang menjadi titik pusat filsafat adalah manusia. Manusia menjadi pusat perhatian, pemikiran, pusat sejarah, dan pusat kosmos.
1.      Zaman Renaissance (abad XV-XVI)
Kata “Renaissance” berasal dari bahasa Perancis yang berarti “Kelahiran Kembali”, sehingga zaman ini diartikan juga sebagai zaman kelahiran minat untuk mempelajari kebudayaan Yunani kuno. Pada zaman ini orang mengembangkan cita-cita, dan membangkitkan sikap modern yaitu sekularisme, optimisme, individualisme, dan humanisme. Jadi dapat dikatakan bahwa kebudayaan Renaissance menempatkan manusia sebagai pusat perhatian, dimana manusia mulai mengembangkan pikirannya secara bebas untuk kelangsungan hidupnya.
2.      Zaman Barok (abad XVII)
Zaman Barok disebut juga sebagai “Zaman Keagungan”. Pada zaman ini telah dimulai babak baru pandangan manusia tentang keagungan dirinya. Pada zaman ini penyelidikan subjektivitas manusia berkisar pada soal “rasio” (akal budi) sehingga lahirlah Filsafat Rasionalisme.
3.      Zaman Pencerahan (abad XVIII)
Pada zaman ini, para cendekiawan menganggap bahwa apa yang diamati oleh panca indra manusia dan apa saja yang dapat disadari serta diketahui akal budi , itu sajalah yang harus dipercayai. Dengan demikian manusia tidak mau terikat dengan apa yang di luar dirinya, dan akal budi menjadi “bebas”. Semua filsuf mereka disebut “Filsuf Empiris” dan filsafat mereka disebut Empirisme, sebab mereka menitik beratkan unsur “pengalaman”, bukan akal budi sebagai sumber untuk memahami kenyataan.
4.      Zaman Romantik (abad XVIII)
Zaman ini muncul sebagai reaksi terhadap Rasionalisme dan Empirisme. Filsafatnya disebut dengan Filsafat Idealisme. Pada waktu itu muncul suatu paham filsafat yang mengutamakan nilai-nilai perasaan dan intuisi lebih dari pada akal budi.
B.  Manusia Menurut Pandangan Filsafat Modern
Setiap sistem filsafat memiliki pandangan mengenai manusia dalam hubungannya dengan Allah, alam, dunia dan sesame manusia. Pembahasan filsafat dalam Filsafat Modern mengarah pada perkembangannya yang membahas meliputi masalah penciptaan (asal mula) manusia, struktur permanen (tubuh,jiwa dan roh) manusia, dan akhir hidup manusia setelah kematian.
1.      Rasionalisme
Istilah “rasionalisme” berasal dari bahasa Latin “ratio” yang berarti pikiran atau pemikiran. Rasionalisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa akal (pikiran) adalah tolok ukur kebenaran atau perkara tertinggi. Dengan akal itulah manusia dianggap mampu menyelidiki, memahami, dan menilai segala sesuatu.
a.       Rene  Descartes (1596-1650)
Filsuf ini dijuluki sebagai “Bapak Filsafat Modern”, sebab dialah yang meletakkan dasar paham ini. Motonya adalah “Cogito ergo sum” (saya berpikir, jadi saya ada). Jadi Descartes menekankan dinamika berpikir untuk dapat memahami eksistensi manusia. Filsafatnya bertitik tolak dari perbedaan asasi antara jiwa dan materi, sekalipun keduanya diciptakan oleh Allah. Di dalam manusia keduanya merupakan kesatuan tetapi bersifat “dualisme” dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Hakikat manusia terdapat dalam jiwanya, dan jiwa mempengaruhi tubuh untuk tindakan tertentu. Akhir kehidupan manusia ditandai dengan terpisahnya jiwa dengan tubuh, yaitu pada saat kematian.
b.      Baruch Spinoza (1632-1677)
Spinoza mempercayai hanya ada satu substansi (cara berada yang tidak tergantung pada apapun juga), yaitu Allah atau “Yang Tak Berhingga”. Segala sesuatu yang terbatas (dunia dan isinya)  merupakan cara perwujudan Allah. Hubungan antara Allah dan alam merupakan satu kesatuan.  Menurut Spinoza manusia adalah suatu cara berada (modus) Allah. Tubuh dan jiwa bukan dua kenyataan berbeda, melainkan dua aspek dari satu kenyataan yang fundamental. Jadi tubuh dan jiwa manusia adalah modus Allah dan pada hakikatnya kedua cara berada Allah itu adalah satu, sama dan sejajar. Kemungkinan hidup terakhir manusia adalah kebebasan roh, yaitu kuasa roh yang terdiri dari “pemikiran” saja. Kebebasan itu diawali dengan pemikiran yang membebaskan diri dari perasaan-perasaan, hawa nafsu, dan segala yang irrasional.
c.       Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716)
Leibniz berpendapat bahwa pada mulanya Allah menciptakan dunia; semua monade (substansi) telah diatur sedemikian rupa sehingga terdapat keselarasan antara aktivitas suatu substansi dengan substansi yang lain. Allah adalah “monade tertinggi” yang bebas dari seluruh monade yang keluar dari Dia. Manusia terdiri dari monade-monade yang harmonis, walaupun tidak saling mempengaruhi. Setiap monade (tubuh dan jiwa) manusia memiliki aktivitasnya sendiri-sendiri yaitu tujuan, keinginan, dan kehendak yang telah diharmonisasikan dengan baik. Akhirnya manusia sebagai bagian dari rentetan monade akan menuju kepada “monade tertinggi” yakni Allah yang transenden.
2.      Empirisme
Empirisme adalah filsafat yang menekankan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Empirisme sangat menekankan “pengalaman indrawi” sebagai sumber pemahaman atas segala sesuatu.
a.       John Locke (1631-1704)
Locke tidak membedakan pengetahuan yang berdasarkan akal dan pengetahuan yang berdasarkan penangkapan indrawi sebab keduanya diyakini berasal dari “pengalaman”. Persoalan manusia hanya berkisar pada “cara dan proses pengamatan” dalam usaha memahami segala kenyataan. Keberadaan manusia dapat dipahami sejauh apa yang diperoleh dari pengalaman indrawi tersebut dimana jiwa manusia uga berfungsi aktif dalam membentuk pengertian mengenai diri manusia itu sendiri.
b.      George Berkeley (1685-1753)
Filsafat Berkeley disebut juga “Spiritualisme” (serba roh) dan “Immaterialisme” (menyangkal adanya dunia materi di luar kesadaran manusia). Jadi antara tubuh dan jiwa yang membedakan adalah “kesadaran”. Hal ini merupakan kelanjutan dari prinsip Locked yang mengatakan bahwa semua pengetahuan berdasarkan pengalaman. Berkeley menambahkan bahwa pengalaman disebabkan oleh adanya kesadaran dan bukan dari sesuatu yang di luar manusia. Alam dianggap simbolik dan menjadi nyata hanya dalam pikiran atau roh manusia.
c.       Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
Rousseau berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merusak manusia yang pada awalnya memiliki kodrat asali baik. Kebebasan dan perasaan moral manusia bisa berubah karena adanya ancaman dari kebudayaan dan ilmu pengetahuan dari suatu masyarakat tertentu. Motonya adalah Back to Nature (kembali kepada keadaan semula). Manusia mempunyai kebebasan moral yang dijiwai oleh substansi yang tidak jasmani (Allah). Kemungkinan akhir hidup manusia adalah suatu kehidupan baka secara pribadi.
d.      Immanuel Kant (1724-1804)
Menurut Kant, manusia berasal dari dunia binatang yang berkembang terus dari taraf primitive menuju kesadaran “persatuan” antar manusia sehingga tujuan akhir manusia adalah penyempurnaan moral di dalam hidup kekekalan secara personal dan bukan komunal. Semasa hidupnya manusia harus berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi dengan bantuan Allah. Dengan demikian Kant sangat mengutamakan tindakan-tindakan manusia untuk mencapai keselamatan (penyempurnaan moral).
3.      Idealisme
Idealisme adalah aliran filsafat yang membedakan “idea” (dunia roh) sebagai objek pengertian dan sumber pengetahuan. Idea itu terpisah dari kenyataan dan merupakan sumber dari segala sesuatu. Idealisme juga berpandangan bahwa segala sesuatu yang dilakukan manusia tidaklah selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah tetapi harus berprinsip kerohanian (Idea). Oleh sebab itu Idealisme sangat mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai sumber pengetahuan.
a.       Johan Gottlieb Fichte (1762-1814)
Fichte berpendapat bahwa objek-objek diberi “bentuk” oleh akal manusia. Manusia sebagai subjek adalah “pencipta” benda-benda. Permulaan segala sesuatu (alam dan seluruh ciptaan) merupakan suatu perbuatan dari manusia sebagai subjek. Manusia adalah “aku” yang otonom, yang dianggap sebagai satu-satunya realitas yang ada. Tubuh dan jiwa serta roh merupakan kesatuan kesadaran manusia yang akan mendorong manusia itu sendiri “menjadi” manusia. Idealisme Fichte adalah Idealisme-subjektif yang menekankan kesadaran dari manusia sebagai subjek.
b.      Friedrich Wilhelm Schelling (1775-1854)
Menurut Schelling baik manusia maupun alam merupakan suatu “subjek”. Walaupun demikian, manusia dan alam diciptakan Allah dengan suatu kebebasan kehendak. Jiwa dapat kembali kepada Yang Maha Mutlak (Allah), hanya dengan kemungkinan yaitu dengan cara membuang keterbatasannya.
c.       George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
Menurut Hegel segala relitas adalah perwujudan dari Roh Yang Mutlak (Allah), tetapi bukan Allah yang personal, bukan yang transenden, melainkan Allah yang imanen (Panteistik). Jadi Roh Yang Mutlak itu yang menyatakan diri dalam perkembangan alam semesta. Pernyataan Roh itu mencakup tiga bidang, yaitu seni (keselarasan pengamatan), agama (keselarasan batiniah), dan filsafat (keselarasan pengertian). Hegel menyatakan bahwa pengenalan terhadap Roh itu hanya berdasarkan filsafat, yaitu berdasar pada pengertian-pengertian atau pikiran-pikiran murni. Manusia tidak dikenal sebagai pribadi tetapi kolektif. Kehidupan manusia merupakan perwujudan Roh, dimana tubuh selalu dikaitkan dan diartikan berdasarkan Roh itu sendiri.

C.    Manusia Menurut Pandangan Kristen
Teologi Kristen adalah pengetahuan yang sistematis tentang Allah dan hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya. Teologi Kristen berhubungan dengan usaha-usaha mengerti Alkitab serta penerapannya ke dalam setiap bagian kehidupan dan pemikiran. Pandangan Teologi Kristen tentang manusia selalu berkaitan dalam relasinya dengan Allah.
1.      Penciptaan Manusia
Manusia diciptakan menurut “gambar dan rupa” Allah. Manusia bukan hasil prokreasi Allah dan bukan juga emanasi Allah, tetapi manusia diciptakan Allah berdasarkan atas pertimbangan kebijaksanaan dan keputusan kehendak-Nya yang bebas (Kej 1:26). Pada mulanya manusia itu sempurna (Ul. 32:4). Dari sini jelas ditunjukkan bahwa yang menjadi sumber kehidupan manusia adalah Allah. Allah memberikan kuasa kepada manusia atas segala mahluk lainnya (Kej. 1:28; Maz 8:7-9). Manusia dengan seluruh aspeknya (tubuh, jiwa dan roh) harus selalu mengarahkan tujuan hidupnya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk memuliakan Allah saja.
a.       Manusia sebagai Kreasi Allah
Penciptaan manusia dalam Alkitab memakai kata Ibrani “asah” (artinya: menjadikan, Kej 1:26) dan “yatsar” (artinya: membentuk, Kej. 2:7). Kedua kata itu tidak bertentangan dengan kata Ibrani “bara” (artimya: menciptakan, Kej.1:1). Semua kata tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa manusia diciptakan secara “langsung” oleh Allah, sebagai hasil gagasan dan kreasi Allah yang unik. Sebagai kreasi Allah, manusia mempunyai hubungan yang khusus dengan Allah yaitu manusia diciptakan dalam suatu relasi dengan-Nya dan untuk mencerminkan sifat-sifat Allah.
b.      Manusia sebagai “Imago Dei”
Ungkapan Imago Dei mempunyai arti adanya kesamaan-kesamaan antara Allah dengan manusia. Kesamaan tersebut adalah kesamaan mental (intelektual), kesamaan moral (kekudusan dan kebenaran), dan kesamaan sosial (persekutuan dan persahabatan). Mengenai kesamaan mental, manusia diberi intelektual oleh Allah (liht. Kej 1:28). Mengenai kesamaan moral, manusia pada waktu diciptakan telah memiliki sifat kekudusan dan kebenaran Allah (Ef.4:24). Sedangkan kesamaan sosial, karena Allah mempunyai sifat sosial (hubungan Allah Tritunggal) demikian juga manusia memiliki sifat tersebut. Salah satu cirri dari Imago Dei dalam diri manusia adalah kemampuan membuat pilihan secara moral. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, manusia telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm.3:23), sebab dosa sifatnya merusak. Pemulihan Imago Dei hanya dapat terjadi ketika seseorang menerima Kristus dalam kehidupannya (Kis 3:21; Ef 2:4-5).
c.       Tubuh, Jiwa, dan Roh Manusia
Manusia memiliki unsure badani dan non-badani, yaitu tubuh dan jiwa atau roh. Ada dua macam skema struktur manusia yaitu dikotomi dan trikotomi. Dalam alkitab jiwa dan roh seringkali disebut secara bergantian (1 kor 5:5; Mat 10:28 dll). Bagian badani berhubungan dengan dunia empiris, batin berhubungan dengan dunia dalam manusia dan roh berhubungan dengan Allah. Demikian bagian badani dan non badani tetap merupakan satu kesatuan. Tubuh dalam bahasa Ibrani “basar” sudah menunjuk manusia secara keseluruhan (Maz. 44:26b; Luk 12:22).
2.      Keadaan Manusia Setelah Jatuh ke dalam Dosa
Manusia diciptakan Allah disertai dengan kebebasan kehendak, yaitu kebebasan untuk memilih. Kepada manusia juga diberikan kebebasan untuk bertindak menurut kehendaknya sendiri atau kehendak Allah (Kej 2:16-17). Jatuhnya manusia ke dalam dosa mengakibatkan terpisahnya hubungan manusia dengan Allah.
a.       Terpisahnya Hubungan dengan Manusia
Fakta kejatuhan manusia dalam dosa merupakan fakta historis dalam sejarah kehidupan manusia. Dosa telah memisahkan hubungan antara manusia dengan Allah. Sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, maka seluruh umat manusia berdosa dan kehilangan hubungannya dengan Allah. Oleh sebab itu manusia tidak dapat memahami Allah secara benar (1 kor 2:14), bahkan manusia tidak memahami keberadaannya dengan sepenuhnya (1 kor 2:11; yer 17:9).  Keterpisahan dari Allah mengakibatkan manusia berdosa pasti gagal dalam tanggung jawab moral (Rm 8:6-8) dan makin terbatas kemampuannya untuk memilih jalan yang benar.
b.      Manusia Mengalami Kematian
Pada waktu diciptakan manusia tidak dapat mati (immortal). Tetapi karena dosa maka manusia mengalami kematian (Kej 2:17; Rm 5:15-21). Menurut Alkitab ada tiga jenis kematian yaitu kematian jamani, kematian rohani dan kematian kekal. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa mengalami kematian rohani. Setiap orang yang percaya kepada Kristus tidak binasa melainkan beroleh hidup kekal dan orang tidak percaya dilemparkan dalam kematian kekal (Mat 13:42; Why 20:15).
3.      Keadaan Manusia Setelah Dipulihkan Kristus
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, setiap aspek kehidupannya berbeda jauh dari kehendak Allah. Allah mempunyai rencana untuk memulihkan manusia kembali kepada rencana-Nya semula, yaitu dengan cara mengutus Anak-Nya yang Tunggal sebagai Juru selamat bagi manusia (Rm 5:8; 10:1; Yoh 4:10).
a.       Hubungan yang Baru
Pembenaran adalah tindakan Allah dalam mengampuni dosa-dosa manusia, yaitu melepaskan mereka dari hukuman dosa dan menerima mereka sebagai orang benar (Rm 3:24-26). Dasar pembenaran adalah kebenaran Kristus (2 Kor 5:21). Jadi dibenarkan berhubungan dengan perubahan dalam hubungan yaitu hubungan yang baru antara orang percaya di dalam Kristus dengan Allah (Rm 5:8-11). Pembaharuan dan pemulihan yang dilakukan oleh Kristus telah menjembatani jurang pemisah antara manusia dengan Allah. Itulah karya Allah bagi manusia supaya semua orang diperdamaikan dan hidup dalam hubungan yang intim dengan-Nya.
b.      Hidup yang Baru
Pembenaran mengubah “status” seseorang dihadapan Allah, pengudusan mengubah dan memperbaharui “keadaan” seseorang (1 Kor 1:30). Dengan demikian kualitas hidup seseorang yang telah dikuduskkan Allah menunjukkan perbedaan, sebab orang yang menerima Kristus akan memperoleh hidup Kristus (Yoh 14:16). Pertobatan dan kelahiran kembali merupakan karya Allah melalui Roh Kudus (Yoh 1:13; 3:5-6; Kis 11:18; 2 Tes 2:13). Hidup baru mencakup pertobatan dan kelahiran baru bukanlah hasil usaha manusia, melainkan berasal dari Allah. Hidup yang baru adalah hidup dalam iman, kasih dan pengharapan (1 Kor 13:1-13).

D.    Pandangan Teologi Kristen Tentang Manusia dalam Filsafat Modern

Filsafat modern bersifat antroposentris, sedangkan Teologi Kristen bersifat teosentris. Keduanya amat bertentangan satu sama lain.
1.      Tinjauan Kritis secara Umum
Perbedaan pandnagan dan penjelasan mengenai filsafat manusia yang bersifat antroposentris, sebenarnya menunjukkan keterbatasan filsafat manusia dalam usaha mencapai pengertian yang benar mengenai eksistensi manusia itu sendiri.
a.       Pandangan Teologi Kristen terhadap Dasar Pemikiran Antroposentrisme
Dalam filsafat modern segala kepastian tradisional menjadi kabur dan akhirnya manusia menganggap bahwa kepastian masih dapat ditemukan, hanya di dalam dirinya sendiri, yaitu melalui kekuatan akal budi dan pengalaman sebagai individu.
(i)     Penyangkalan terhadap Penyataan Allah (Alkitab) mengenai Manusia
Antroposentrisme filsafat jelas telah menyangkal dan mengabaikan pernyataan Allah (Alkitab) mengenai manusia dan lebih meyakini kemampuan serta pemikiran manusia itu sendiri. Filsafat modern juga menganggap manusia sebagai standar kebenaran atas segala sesuatu. Dengan demikian menyangkal Allah sebagai standar kebenaran. Di pihak lain Alkitab menyatakan bahwa dosa telah memisahkan manusia dari Allah (Yes 59:2) sehingga tidak ada kebenaran di dalam manusia (Rm 3:4,10; 10:3). Selain itu kebenaran manusia selalu ingin berjalan menurut kemauannya sendiri (Ams 16:2) karena dosa telah menggelapkan akal businya (Ef 4:18). Oleh sebab itu manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tidak dapat dijadikan tolak ukur kebenaran.
Allah telah menyatakan bahwa Alkitab itu tepat dan benar (Why 21:5), sebab itu pandangan mengenai manusia menurut Alkitab itu tepat dan benar. Penyangkalan terhadap Alkitab sebagai firman Allah berarti menolak  segala sesuatu yang dinyatakan Allah sendiri.
(ii)   Penekanan pada Kebebasan dan Keagungan Manusia
Dengan antroposentrisme, berarti manusia ingin membebaskan diri dari kuasa di luar dirinya, yang kemudian berkembang menjadi anggapan bahwa manusia mampu berkuasa atas segala kenyataan. Filsafat modern menekankan kebebasan yang mutlak terlepas dari segala sesuatu di luar dirinya. Disinilah terletak kekeliruan subjektivitas manusia yang dapat berakibat fatal bagi dirinya sendiri. Penekanan pada kebebasan dan keagungan manusia berarti sama dengan menolak akan otoritas Allah atas diri manusia.
b.      Pandangan Teologi Kristen tentang Bukti Keterbatasan Filsafat Manusia
Hasil dari pandangan para filsuf filsafat modern yang berbeda-beda dan berubah-ubah, membuat pandangan filsafat menjadi subjektif. Berbeda dengan Teologi Kristen yang selalu tetap dan tidak berubah-ubah.
(i)     Subjektivitas Filsafat Manusia
Adanya perbedaan, perubahan, dan pertentangan pemikiran dalam filsafat modern, khususnya mengenai manusia, maka dapat dilihat bahwa kebenaran filsafat manusia adalah kebenaran yang relative, spekulative, dan subjektive. Sebab kebenaran ditentukan dari anggapan dan persepsi pribadi. Subjektivitas filsafat manusia adalah karena bersumber dari pemikiran dan pengetahuan manusia belaka.
(ii)   Ketidakpastian Filsafat Manusia
Filsafat sendiri tidak mampu memberikan pengertian yang sepenuhnya benar tentang segala sesuatu bahkan selalu bertanya terus dalam usahanya memahami kenyataan. Jadi jalaslah disini bahwa pemikiran manusia tidak mencapai hasil yang pasti dan tetap. Oleh sebab itu dengan menyadari keterbatasannya, seharusnya manusia  mengarahkan perhatiannnya pada penyataan Allah dalam Alkitab.
2.      Tinjauan Kritis secara Khusus
a.       Pandangan Teologi Kristen tentang Manusia menurut Rasionalisme
Dipandang dari perspektif Teologi Kristen, pandangan Rasionalisme tentang manusia mengandung kekeliruan konsep yang mendasar.
(i)     Kekeliruan Konsep tentang Otonomi Akal
Titik tolak Rasionalisme dalam memahami manusia selalu didasari atas otonomi akal. Akal dipercayai sebagai kunci untuk membuka segala rahasia, termasuk soal manusia. Akal tidak bersifat otonom, sebab akal hanya salah satu titik awal yang mendasari keyakinan setiap ahli pikir. Sebaliknya, Teologi Kristen menyatakan bahwa akal itu juga harus mengalami pertobatan apabila ingin berfungsi sesuai dengan kehendak Allah (Rm 12:2), sebab pertobatan seseorang mencakup seluruh aspek kehidupannya termasuk pikiran.
(ii)   Manusia Bukan Subjek Segala Sesuatu
Manusia bukan “subjek” segala sesuatu sebab manusia hanyalah mahluk ciptaan Allah. Akal yang dipilih Rasionalisme juga buatan Allah. Jadi sebenarnya hanya Allah sajalah yang menjadi Subjek segala sesuatu karena Ia adalah Allah segala mahluk (Yes 40:28; Yer 32:27).
(iii) Kontradiksi Rasionalisme dan Alkitab
Alkitab menerangkan bahwa manusia diciptakan istimewa dari mahluk lainnya yaitu segambar dan serupa dengan Allah. Tubuh sering dipakai untuk menunjukkan eksistensi manusia seutuhnya (Rm 8:8), jiwa juga menunjukkan eksistensi manusia seluruhnya (Maz 78:8). Jadi manusia merupakan satu kesatuan yang utuh. Manusia seutuhnya mencakup seluruh aspek keberadaannya dan tidak ada pemisahan satu dengan yang lain.
Filsafat modern memiliki pandangan yang bertentangan dengan Alkitab. Rasionalisme mempercayai bahwa manusia memiliki sifat dualistik yaitu tubuh dan jiwa terpisah dan bukan merupakan satu kesatuan. Spinoza berpandangan panteistik, dimana tubuh manusia merupakan hasil emanasi dari Allah.
b.      Pandangan Teologi Kristen tentang Manusia menurut Empirisme
Menurut Teologi Kristen, pemahaman-pemahaman Empirisme mengenai manusia perlu ditolak dalam beberapa hal penting.
(i)     Subjektivitas Pengalaman Indrawi
Sumber segala pengetahuan bukanlah berdasarkan pengalaman indrawi yang didukung rasio seperti yang diyakini Empirisme, tetapi Alkitab. Pandangan Alkitab mengenai manusia bersifat objektif dan factual, sedangkan Empirisme bersifat subjektif. Menurut Teologi Kristen, untuk memahami manusia secara sepenuhnya, tidak cukup hanya berdasarkan pengalaman manusiawi belaka, melainkan pengalaman itu sendiri bersama iman kepada Allah.
(ii)   Pemahaman tentang Manusia yang Bercorak Naturalistik
Dalam Empirisme, pandangan tentang manusia amat bercorak naturalistik, yaitu segala sesuatu hanya dapat diterangkan berdasarkan sebab-sebab alami saja. Demikian pula soal manusia selalu harus dimengerti hanya melalui sarana rasio dan pengamatan empirik belaka. Oleh sebab itu Empirisme selalu menekankan manusia alami yang pada mulanya dianggap baik. Corak naturalistik dalam Empirisme terbukti dengan adanya pendapat tentang tidak adanya perbedaan antara materi dan jiwa.
(iii) Adanya Usaha Penyempurnaan Moral Manusia
Kehidupan abadi di alam baka, bagi Empirisme, hanya berbicara soal penyempurnaan moral saja. Immoralitas jiwa tidak diterangkan secara jelas sebab tidak ada pembedaan materi dan jiwa. Manusi mengusahakan dirinya untuk mencapai kesempurnaan moral. Hal ini di tolak oleh Teologi Kristen karena penyempurnaan moral hanya didapat di dalam Yesus (Kol 1:28; Ef 4:13). Manusia tidak dapat mengusahakan penyempurnaan moralnya semata-mata.
c.       Pandangan Teologi Kristen tentang Manusia menurut Idealisme
Pandangan Teologi Kristen tentunya berbeda dengan pandangan Idealisme dalam membahas masalah tentang manusia. Beberapa hal yang ditolak pandangan ini adalah:
(i)     Penekanan pada Kesadaran Manusia sebagai Subjek
Idealisme juga menekankan manusia sebagai subjek, namun yang yang lebih dianggap penting disini adalah kesadaran subjek. Dengan kesadaran tersebut manusia dapat memahami segala sesuatu. Kesadaran ini adalah pemikiran yang bersifat imanen. Karena adanya Allah yang imanen panteistis, maka manusia menjadi subjek segala sesuatu. Hal ini berarti bahwa Allah bekerja dan melekat di dalam kehidupan manusia. Allah yang imanen berarti Allah berada di dalam struktur alam semesta dan ikut ambil bagian dalam proses kehidupan manusia.
Pandngan ini di tolak oleh Teologi Kristen karena Subjek dari segala sesuatu adalah Allah, yaitu Allah yang bukan saja imanen (Mz 104:29-30; Yes 63:11 dll) tetapi transenden (Mz 113:4-6;Yes 55:8-9 dll). Oleh sebab itu pandangan tentang panteistis harus dibuang karena tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Alkittab.
(ii)   Manusia Bukan Perwujudan Roh Allah
Kesatuan tubuh, jiwa dan roh manusia selalu dipahami sebagai suatu kesadaran yang utuh oleh Idealisme. Tetapi mengenai jiwa dan roh pada akhirnya akan kembali kepada Roh Yang Mutlak (Allah). Dalam Alkitab diungkapkan bahwa manusia bukanlah perwujudan Roh Allah. Sebab manusia adalah kreasi Allah. Allah adalah tetap Allah pencipta dan manusia adalah tetap mahluk ciptaan-Nya.

BAB III
KESIMPULAN
Aliran Filsafat Modern yang diwakili Rasionalisme, Empirisme dan Idealisme mempunyai pandangan yang berbeda-beda mengenai manusia. Tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa pandangan tentang manusia dalam Filsafat Modern itu bersifat antroposentrisme. Hal ini bertentangan dengan pandangan Teologi Kristen yang bersifat teosentris. Dasar pemikiran antroposentrisme dalam Filsafat Modern amat bertentangan dengan penyataan Allah di dalam Alkitab. Segala perhatian yang berpusat pada manusia berarti menolak Allah sebagai standar kebenaran. Ini adalah salah satu bentuk pemberontakan terhadap Allah sebagai pencipta, dan dapat mengakibatkan dehumanisasi manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya sistem pemikiran filosofis yang berbeda-beda, variatif, relatif, spekulatif  dan subjektif.
Rasionalisme menggambarkan manusia sebagai mahluk yang berakal dan dengan akalnya itulah dianggap sebagai kunci segala sesuatu. Empirisme menekankan pengalaman manusia yang ditopang oleh akalnya, sebagai sumber pengetahuan segala realitas. Sedangkan Idealisme mendeskripsikan manusia sebagai mahluk dengan kesadaran yang utuh, dimana kesadaran itulah yang membuat manusia memahami kenyataan. Namun hal ini di tolak oleh pandangan Teologi Kristen karena tidak sesuai dengan Alkitab. Teologi Kristen menunjukkan unsur-unsur dalam Filsafat Modern yang relatif, spekulatif dan subjektif. Dengan demikian, dalam filsafat manusia tidak ada kepastian kebenaran sehingga tidak akan mencapai kebenaran yang sesungguhnya. Berbeda dengan Teologi Kristen bersumber pada Alkitab yang bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.
Kesimpulan dari keseluruhan adalah bahwa Teologi Kristen menolak semua pandangan tentang manusia dalam Filsafat Modern, dengan sifat antroposentisme dan keterbatasannya. Lebih dari itu, Teologi Kristen menunjukkan “jalan” dan “sumber” yang benar, yaitu Alkitab yang adalah Firman Allah, sebagai pusat perhatian dan pemahaman yang benar mengenai eksistensi manusia. Filsafat manusia itu terbatas. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tidak dapat dijadikan tolak ukur kebenaran. Kebenaran sesungguhnya mengenai manusia bersumber pada penyataan Allah di dalam Alkitab. Dengan demikian pandangan tentang manusia dalam filsafat Modern tidak memberikan suatu pemahaman yang tepat dan benar.
DAFTAR PUSTAKA

Hardiman, F.Budi. Filsafat Modern : Dari Marchiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Griffin, David Ray. Tuhan dan Agama dalam Post Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual : Konfrontasi dengan para filsuf dari zaman Yunani hingga zaman modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.