MENGUAK
ALASAN DIBALIK PENOLAKAN RATU WASTI TERHADAP PERMINTAAN RAJA AHASYWROS
BAB
I
PENDAHULUAN
“No Woman No Cry” adalah ungkapan yang familiar
yang memiliki pengertian tidak ada wanita tidak masalah. Dalam Alkitab ada
seorang raja yang tidak dianggap oleh “wanitanya” sendiri. Inilah yang dialami
oleh raja Ahasyweros. Dengan kekuasaan yang ia miliki pastilah setiap wanita
akan tunduk kepadanya. Tetapi diluar perkiraan, ratu Wasti tidak tunduk dalam
otoritas raja. Ratu Wasti menolak permintaan raja yang “sederhana” itu. Dengan
penolakan ratu Wasti maka raja Ahayweros mengambil keputusan untuk menggeser
kedudukan ratu Wasti dengan ratu yang baru. Raja Ahasyweros juga tidak berlarut
dalam kesedihan bahkan setelah kejadian tersebut raja tetap memfokuskan rencana
penyerangannya kesejumlah daerah yang hendak ia tahlukkan.
Dalam konsep PL sendiri muncul dan berkembang adanya eksploitasi wanita. Wanita diperlakukan sewenang-wenang oleh
laki-laki karena budaya yang berkembang dalam zaman PL adalah budaya Patriakal.
Dalam Alkitab khususnya di PL budaya Patriakal sangat menonjol. Hanya beberapa
kitab dalam PL yang mengekspose peran
feminisme dalam perjuangan. Salah satunya adalah kitab Ester. Dalam kisahnya
Ester menjadi seorang ratu yang berjuang mempertahankan kehidupan orang Yahudi
dari rencana pemusnahan yang dirancangkan oleh Haman. Yang menarik dari kitab
Ester ini adalah Ester diangkat menjadi ratu karena Wasti yang menjadi ratu
sebelum Ester dipecat oleh raja Ahasyweros akibat permintaannya yang ditolak
Wasti. Yang mengusik keingintahuan Penulis adalah apakah alasan yang melatar
belakangi penolakan ratu Wasti terhadap permintaan raja Ahasyweros yang hanya
menginginkan ratu Wasti diperlihatkan didepan sida-sida dalam pesta raja?.
Apakah hanya sekedar karena ratu Wasti sibuk dengan pesta yang ia adakan
sendiri atau karena adanya budaya eksploitasi
wanita yang berkembang saat itu membuat ratu Wasti memberontak terhadap titah
raja?. Alkitab tidak menjelaskan secara detail tentang hal tersebut. Oleh sebab
itu berikut
Penulis akan mengupasnya dalam
pembahasan ini yaitu “Alasan dibalik penolakan ratu Wasti
terhadap permintaan raja Ahasyweros”.
BAB
II
ALASAN
DIBALIK PENOLAKAN RATU WASTI TERHADAP PERMINTAAN RAJA AHASYWEROS
A. Latar Belakang Budaya Pesta di Persia
Setelah
kerajaan Babel direbut dan diganti oleh kerajaan Persia pada tahun 539 SM,
pusat pemerintahan bagi orang Yahudi buangan berpindah ke Persia yang ber-ibukota di Susan. Berpesta adalah
sebagian kehidupan sosial yang penting untuk raja-raja Persia. Raja sering
membuat perjamuan atau pesta makan besar untuk pejabatnya dan kadang-kadang
juga untuk masyarakat umum. Kalau banyak orang diundang, pesta itu diadakan di
luar yaitu di
taman halaman yang dihiasi khusus untuk pesta. [1]
Pesta sering diadakan oleh para penguasa untuk
memperingati hari kemenangan, pesta untuk menjamu tamu, pesta menggalang
dukungan daerah sekitar dan lain sebagainya. Dalam budaya Persia biasanya raja
mengajak berpesta para laki-laki dan menyediakan minuman anggur untuk memeriahkan
suasana. Sedangkan bagi para wanita diadakan pesta yang berbeda dan tidak
bercampur dengan para laki-laki.
B. Sejarah Raja Ahasyweros
Raja
Ahasyweros adalah raja Persia. Ayahnya bernama Darius I yang menjadi raja
Persia sebelumnya. Ibunya bernama Atossa, dan istrinya Amestris. Ahasyweros lahir di Persia tahun 159 BC dan wafat tahun 465 BC dalam usianya yang ke-54 tahun. Ahasyweros
merajai 127 provinsi di daerah India
sampai ke Etiopia (Ester 1:1). [2]
Dia adalah salah satu raja yang terkenal pada zaman
itu, namun dalam pemerintahannya dia sangat angkuh dan suka bertindak
sewenang-wenang. Keangkuhanya terekam dalam prasasti di Persepolis yang memuat
catatan pribadinya dan berbunyi : Saya Ahasyweros, raja agung, satu –
satunya raja, raja dari semua negara yang memakai segala macam bahasa, raja
dari bumi raya... “. [3]
Dalam hal ini raja
mempunyai kuasa total. Apa yang dia ucapkan, itu menjadi titah, atau perintah
yang harus ditaati.
J.
Sidlow Baxter menulis,
-
“Diluar Alkitab dia dikenal sebagai Xerxes, merupakan
nama Yunaninya. Xerxes memerintah kerajan Persia dari 485 sampai 465 B.C. Nama anak Darius ditafsirkan sebagai Khshayarsha,
yang diterjemahkan dalam Yunani sebagai Xerxes, dan dalam Ibrani dari
huruf ke huruf, Akhashverosh, dan dalam Inggrisnya, Ahas-uerus. .
. .”[4]
-
Xerxes adalah seorang raja yang memerintahkan membangun
jembatan atas Hellespont, dan yang kemudian belajar kalau jembatan itu telah
dihancurkan oleh badai, tepat saat selesai, sehingga dia begitu marah dan
mencambuk 300 kali dan memotong kepala para pekerja jembatan. [5]
-
Inilah raja yang ditawari sejumlah uang setara dengan 5
setengah sterling oleh Pythius, orang Lydian, untuk perjalanan militer, begitu
terpesona dengan kesetiaannya dia mengembalikan uang itu bersama dengan hadiah
yang besar; dan kemudian diminta oleh Phthius yang sama, langsung membebaskan
salah satu anaknya yang tertua dari kemiliteran, tapi saat dukungannya
menurun, dengan marah dia memerintahkan memotong anak itu menjadi dua, dan
pasukan berbaris diantarannya.
-
Inilah raja yang mempermalukan pahlawan Spartan yang
masih ada, Leonidas.
-
Inilah raja yang mengubur rasa malu atas kekalahannya
dengan terlibat dalam seksualitas dengan menawarkan hadiah kepada umum untuk
penemuan kesenangan baru. [6]
-
Inilah raja yang memotong kanal melalui Isthmus of
Athos untuk armadanya pengambil
alihan yang luar biasa.
-
Inilah raja yang kekayaan yang besar, dan pikirannya
yang besar membuat nama Persia dikagumi didunia kuno. Herodotus menceritakan
bahwa diantara jumlah tak terhitung melawan Yunani, Ahasyweros merupakan yang
terelok dan tergagah. Tapi secara moral sangat berlawanan. Dia menurunkan Wasti
karena menolak menunjukan dirinya dihadapan para tamunya. Dialah yang
memerintahkan Yahudi dibantai, dan kemudian melawan hal itu.
Ahasyweros adalah
raja besar Persia, yang dinubuatkan Daniel:
Oleh sebab itu, aku akan memberitahukan kepadamu hal yang
benar. Sesungguhnya, tiga raja lagi akan muncul di negeri Persia, dan yang
keempat akan mendapat kekayaan yang lebih besar dari mereka semua, dan apabila
ia telah menjadi kuat karena kekayaannya, ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk
melawan kerajaan Yunani ” (Daniel 11:2 ).
C.
PESTA RAJA AHASYWEROS
Ahasyweros bersemayam di atas takhta kerajaannya dalam benteng Susan (Ester 1:2). Di sana ia mengadakan pesta agung selama 180
hari untuk merayakan kebesarannya. Alkitab
tidak secara spesifik mengatakan pada pembaca kenapa raja
mengadakan penyelenggaraan seperti itu, tapi maksudnya jelas ingin menunjukan
kuasa dan kemuliaan kerajaannya (1:4). Bangsawan dari berbagai provinsi (127)
kerajaan ini hadir untuk melihat kuasa raja dan untuk melihat apakah raja Ahasyweros mampu melakukan tugas besar ini (mengadakan perayaan selama 6
bulan).
Secara militer, pesta tersebut dipakai untuk
menggalang sekutu dan tentara guna melakukan oprasi militer melakukan penyerangan
lagi ke Yunani. Raja ingin meyakinkan
tamunya bahwa mereka akan tunduk dan mendukung kepemimpinannya saat dia masuk
kedalam peperangan. Saat 6 bulan hampir berakhir, ada pesta besar lagi yang
digambarkan. Pesta besar ini lebih singkat hanya 7 hari, dan untuk
semua orang yang berdiam di Susan, baik kaya maupun miskin (1:5). Pesta yang
lebih lama untuk kaum bangsawan (1:3-4). Kemakmuran merupakan bukti dari
perayaan singkat dengan berlimpahnya makanan dan anggur. Walau raja menyediakan
anggur dengan berlimpah, dia memberi kebebasan mereka meminum apapun yang
diinginkan (1:8). Para wanita terutama terkesan dengan istana dan taman. Semua yang dituliskan dalam alkitab tentang
kemegahan dan keindahan tata istana adalah untuk menunjukkan “kekayaan kemuliaan kerajaannya” (1:4-6).
Sementara itu
pria dihibur oleh raja, sedangkan para wanita memiliki pestanya sendiri dengan
ratu Wasti sebagai tuan mereka (1:9). Akhir dari 7 hari, pesta hampir berakhir.
Banyak minuman diberikan diminggu sebelumnya, dan teks ini menyatakan bahwa raja
juga ikut serta (1:10). Tidak diberitakan bahwa raja “mabuk” tapi hatinya “riang gembira”. Saat hati raja sedang
“riang gembira”, raja memerintahkan Wasti untuk muncul dihadapan pria yang
bersama dengan raja (1:10-11). Dengan demikian Penulis menyimpulkan bahwa raja
telah merencanakannya sebelumnya. Namun yang terjadi dalam kisah tersebut
adalah Wasti menolak titah raja. Oleh sebab itu Wasti dibuang dari hadapan raja
dan jabatannya sebagai ratu dicabut. Beberapa waktu setelah kejadian tersebut Ahasyweros pergi
memimpin tentara Persia menyerang Yunani (482-479 SM).
D. ALASAN PENOLAKAN RATU WASTI
Dalam kaitannya dengan ikatan keluarga, Wasti memang
bersalah karena tidak memiliki sikap tunduk dan taat terhadap perintah
suaminya. Tetapi Wasti memiliki alasan dibalik penolakannya tersebut. Beberapa
kemungkinan alasan ratu Wasti menolak
permintaan raja yang “sederhana” tersebut adalah:
1.
Ratu Wasti sibuk
dengan pesta yang ia adakan sendiri. Secara leterleg dalam alkitab tidak disebutkan kenapa
sang ratu menolak. Namun pandangan mengenai ratu lebih sibuk dengan pestanya
sendiri dipahami oleh beberapa orang karena dalam situasi tersebut bertepatan
ketika ratu juga sedang mengadakan perjamuan bagi kaum wanita di dalam istana
raja Ahasyweros (1:9).
2.
Ratu Wasti sudah
tidak menghormati raja Ahasyweros sebagai suaminya (1:17). Menurut para penasehat
raja, sikap ratu Wasti ini muncul karena ratu sudah tidak menghormati raja
lagi. Oleh sebab itu para penasehat memberikan saran kepada raja untuk
mengganti ratu Wasti dengan ratu yang baru agar masalah tersebut tidak menjadi
contoh bagi wanita-wanita lain di daerah kekuasaan Ahasyweros. Disatu sisi bila
ratu Wasti tidak ditindak maka akan lebih memalukan lagi bagi raja karena raja akan tidak dihormati oleh bawahan
dan rakyatnya karena tidak memberikan hukuman pada ratu.
3.
Ratu wasti menolak
karena dalam budaya kerajaan ketika itu seorang ratu yang dipamerkan harus
dalam keadaan telanjang. Pandangan ini sesuai dengan pendapat Norman Gottwald yang menyatakan bahwa
kebudayaan Persia memamerkan wanita dengan telanjang.[7] Hal itulah yang akan
dialami Wasti jika ia menjalankan perintah raja Ahasyweros. Oleh sebab alasan
untuk menjaga harga diri maka Wasti menolak hal tersebut.
4.
Ratu Wasti menolak
karena tidak mau kehilangan martabatnya sebagai wanita dengan dipamerkannya
ditengah-tengah pria-pria yang tengah mabuk oleh anggur. Wasti sadar
keberadaannya ditengah-tengah pria yang sedang mabuk akan
mengancam keberadaannya. Wasti memahami bahwa keberadaannya di tengah-tengah pria-pria tersebut tidak menjamin akan adanya pelecehan yang dilakukan oleh
pria-pria yang kehilangan kesadaran karena mabuk tersebut. Hal ini didukung oleh pandangan beberapa tokoh yaitu:
-
Menurut J. Sidlow
Baxter: Raja memerintahkan agar Wasti (Vashti artinya ‘wanita cantik’) harus
datang dan menunjukan dirinya dengan cara yang tidak sopan dihadapan banyak
tamu. Hal ini merupakan pelanggaran dan penghinaan hidup seseorang yang
seharusnya dilindungi raja. Dari sisi wanita (feminis) penolakan Wasti terhadap titah raja merupakan suatu
keberanian dan bisa dibenarkan. Meskipun disisi lain penolakan terhadap monarki
seperti sangat memalukan.[8]
-
Posisi yang sama
diambil oleh Jamieson, Fausset, dan Brown yang berpendapat bahwa “Penolakan Wasti
terhadap perintah untuk menunjukan dirinya dengan tidak terhormat dihadapan
undangan yang mabuk berdampak pada kesopanan seks dan kedudukannya sebagai
ratu. Menurut kebiasaan Persia, ratu
lebih dari istri seorang pria. Dalam pandangan umum saat itu Pengasingan Wasti
yang dilakukan oleh raja adalah akibat dari raja yang telah dikuasai oleh
anggur dan kesombongannya.
Dari
penolakannya tersebut Wasti menerima konsekuensi dengan cara yang tidak
terhormat. Wasti dibuang dari hadapan raja dan jabatannya sebagai ratu dicabut. Bahkan dalam Alkitab
Wasti jelas tidak dipandang baik. Tercatat dalamAlkitab seakan dengan dingin
menolak perintah suaminya dan rajanya untuk muncul dalam kebesarannya.
Penasihat raja semuanya menganggap dia bersalah dan merekomendasikan agar
diganti dengan yang “lebih baik.” (1:19) daripadanya. Karena
tindakan Wasti dipandang dapat menjadi contoh buruk yang bisa merusak prilaku
dan tindakan wanita dikerajaan (1:17-18).
BAB
III
KESIMPULAN
Penolakan ratu Wasti terhadap permintaan
raja yang terkesan “sederhana” itu mengandung arti yang dalam yang menyangkut
tentang keberadaan wanita yang tereksploitasi zaman itu. Penolakan ratu Wasti
dipandang dari budaya bukan sekedar bahwa ia menolak karena lebih mementingkan
pesta yang ia adakan sendiri atau karena ia sudah tidak menghormati suaminya,
tetapi lebih kepada menjaga martabat dan harga dirinya sebagai wanita. Tentu
saja Wasti yang sebenarnya sudah lama menjadi ratu mengetahui bahwa
pemberontakannya akan mengakibatkan amarah raja dan konsekuensi yang pasti akan ia jalani. Namun demi harga dirinya yang
tidak ingin diekspose dihadapan
laki-laki yang tengah mabuk yang dapat mengancam keberadaannya ketika diperlihatkan
raja, membuat ia mengambil keputusan yang ia pandang tepat.
Keberanian ratu Wasti dipandang kaum feminis sebagai suatu tindakan yang
tepat. Eksploitasi wanita zaman itu sangat sulit untuk ditolak oleh wanita
sehingga wanita seakan dipandang tidak ada harganya. Budaya Patriakal lebih berakar pada zaman itu. Namun
oleh keberadaan Wasti yang berani mengambil konsekuensi dan mempertahankan
harga dirinya, ia menjadi suatu
contoh sosok wanita yang perlu dihargai.
DAFTAR
PUSTAKA
‑‑‑‑‑‑‑‑‑, Alkitab. Jakarta: LAI, 2006.
Bakker, F. L. Sejarah Kerajaan Allah 1. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1987.
Baldwin,
Joyce
C. Esther:
An Introduction and Commentary. Downers Grove: Inter-Varsity Press, 1984.
Baxter,
J. Sidlow. Explore
the Book . Grand
Rapids: Zondervan Publishing House, six
volumes in one, Vol. 2, 1960.
Bergant. Tafsir Alkitab
Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Erich F Schmidt, Persepolis
III: The Royal Tombs and Other Monuments, Oriental Institute Publications,
vol. 70, 1970.
Gootwald,
Norman K. The Hebbrew Bible A
Socio-Literary Introduction (Philadelphia: Fotress Press,1985.
Lasor, W.S. Pengantar
Perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Olmstead, A.T. History
of the Persian Empire . University
of Chicago Press,
1948.
[1]
F. L. Bakker, Sejarah
Kerajaan Allah 1. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hal. 621.
[3] Erich F Schmidt, Persepolis III: The
Royal Tombs and Other Monuments (Oriental Institute Publications, vol.
70, 1970) hal.27.
[4] J. Sidlow Baxter, Explore the Book (Grand Rapids: Zondervan
Publishing House [reprint], six volumes in one, 1960), Vol. 2, hal 262.
[5] A.T. Olmstead, 1948. History of the Persian Empire (University
of Chicago Press) hal. 214.
[6] Ibid, hal 215.
[7] Norman K.Gootwald, The Hebbrew
Bible A Socio-Literary Introduction (Philadelphia: Fotress Press,1985),
hal.561.
[8] J. Sidlow Baxter,.Opcit, hal
267.
Perspektif yang bagus..
BalasHapusHai Kezia...saya kutip tulisannya ya untuk argumentasi saya mengenai ratu wasti. Jujur saya pro Wasti :)
BalasHapusThank you.
Vashti, Jezebel, Semiramis cuma sekedar perwujudan dari Lilith di berbagai jaman hingga akhirnya muncul sebagai gerakan feminis.
BalasHapusVashti, Jezebel, Semiramis cuma sekedar perwujudan dari Lilith di berbagai jaman hingga akhirnya muncul sebagai gerakan feminis.
BalasHapus